Sunday 18 July 2010

Impian Dari Jalanan


Impian dari Jalanan


By: Oby

Lampu merahhh…
Pekik seorang anak di sudut toko yang sedang duduk beralaskan selembar Koran, sebut saja namanya Abi. Ia berlari berlomba bersama temen-temennya yang seprofesi dengannya sebagai pengamen jalanan yang berbekal kayu berukuran panjang dua belas centi meter, lima tutup botol yang dipipihkan, dilobangi sebuah paku yang menancap pada kayu tadi, sebut saja “kecrek jalanan”.
Abi dengan baju lusuh, sandal ceplek dua toko, kanan warna biru, kiri warna merah, menghampiri pemakai jalur Otista, sebuah mobil sedan hitam yang bertuliskan BMW di kap depannya, Abi mengangkat tangan sambil berucap “misi Om…” Abi langsung memainkan kecrek dengan lihainya sambil lantunkan sebuah lagu, "baru sekarang oh aku rasakan tak punya bapak rasanya kesepian..." usai melantunkan lagu, tangan kecil seukuran tangan Abi menjulur dari sebuah pintu belakang mobil sambil memegang lima uang logam bertuliskan seratus Rupiah, Abi menyodorkan tangan dan mengambil uang itu. Ketika ia lihat, ternyata dia seorang siswi berseragam putih merah.
“Terima kasih…”sambil melemparkan senyum abi menatap anak kecil itu.
“Sama-sama” jawabnya.
Lampu berganti warna menandakan mereka harus kembali ke basecamp mereka. Abi pun berlari menghampiri ibunya yang sedang menunggu di pinggir jalan Otista itu…
“Bu…Bu…liat Abi dapat uang ni” sahut Abi dengan riangnya, diberikannya lima uang logam recehan itu sembari berbisik ke telinga kanan ibunya.
“Bu, ini buat Abi sekolah nanti, ya " bisik Abi.
Ucapan itu langsung menyentuh kalbu Ibunya. Matanya berbinar bak batu kristal terkena sinar tak kuasa menahan, akhirnya linangan air mata kasih sayang menyentuh bumi. Abi didekapnya, sambil disun, ibunya berucap, “kamu pasti sekolah nak!"
Abi kembali bercengkrama bersama temen-temennya yang sedang menikmati pisang goreng yang mereka dapatkan dari hasil mengamen tadi.
“Kemanain tuh uang Bi ?” tanya Anto, temen Abi.
“Aku berikan pada ibuku untuk disimpan buat sekolah” jawabnya lurus.
Uhuk..uhuk, Andi tersedak mendengar jawaban Abi, sambil berkata “Apa Bi, tuh uang buat sekolah?!”
”Ah, Abi ada-ada aja, mana mungkin kita bisa sekolah, mahal Bi, mahal.. “ sahut Ano yang lebih tua dari yang lain.
Lampu merahhh…
Pekik Ara temen perempuan Abi satu-satunya, mereka kembali berlari berlomba menghampiri pengguna jalur Otista, seperti biasa Abi mengangkat tangan sambil berucap “misi Om…” baru saja mau membenturkan kecrek ketangan kirinya Om itu sudah mengulurkan tangan dengan memegang selembar uang kertas bertuliskan seribu rupiah.
“Terimakasih Om” sahut Abi.
“Ati-ati ya!” Om itu berpesan.
Abi menganggukkan kepala lalu berlari menghampiri ibunya untuk memberikan uang itu dengan wajah riang. Ibunya menyambut.
“Ini uangnya Bu…” sapa Abi.
Ia pun kembali berkumpul bersama temen-temennya.
“Abiii...!” ibunya memanggil.
“Iya Buuu, ada apa?” sahut Abi sambil berlari memegang kecrek kesayangannya .
Ibunya berisyarat dengan menyuapkan tangan ke mulutnya.
“Iya, Abi cuci tangan dulu” jawabnya sambil berlari ke sebuah gang yang di sana ada sebuah mushola yang di kelola Ust. Adin.
“Assalaamu'alaikum pak Ustadz” sapa Abi.
“Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh” jawab Ustadz Adin. “Ikut cuci tangan...” pinta Abi.
“Silahkan Bi” jawab Ustadz. Adin.
“Terima kasih Pak Ustadz...” ucapnya sambil berlari menghampiri ibunya yang sudah menunggu di pinggir jalan Otista itu. Ibunya menggelar sebuah kain sarung lusuh lalu mengeluarkan satu bungkus nasi dan air satu plastik kecil dari kantong plastik hitam lalu diletakannya persis di tengah sarung itu, Abi berlari dengan cepatnya bak harimau memburu mangsanya.
“Pelan-pelan Bi, nanti jatuh” pesan ibunya. Hah...heh...hoh...! nafas Abi tak teratur sambil mengambil satu bungkus nasi yang disediakan ibunya.
“Kok cuma satu bungkus Bu” Tanya Abi.
“Ibu sudah makan, nak” jawabnya. Padahal tak sesuap nasipun masuk ke mulut ibunya demi penghematan supaya anaknya bisa sekolah, dibukanya karet yang mengikat bungkus itu, setumpuk nasi dengan oreg tempe dan sambal goreng kesukaan Abi membuat selera makannya naik. Abi langsung melahap nasi, karena laparnya dia lupa baca do'a.
“Abiii...kalo makan berdo'a dulu” pinta ibunya.
“Oh iya lupa...Bismillahhirrahmaanirrahiem Allahumma Barik lana fi ma razaktana waqina adzabannar. Do'a ini yang diajarkan pak Ustadz Adin, Bu” jawab Abi.
Matahari membenamkan wujud menandakan berakhirnya siang, hadirnya awal malam, itu semua menandakan temen-temen Abi harus kembali ke tempat peristirahatan mereka.
“Abi, kita pulang dulu ya” sahut Ara.
“Besok kita berlomba lagi” sambung Andi.
“Iya, hati-hati ya” jawab Abi.
Mereka berjalan berduyun sambil menghitung uang recehan hasil mengamen mereka siang tadi.
“Kamu dapat berapa Ara?” Tanya Andi.
“Lumayan deh… buat bisa makan malam ini.”
“Ano, kamu buat apa itu uang?” Tanya Ara.
“Buat isi perut dan yang pasti aku akan simpan sebagian karena aku juga sebenarnya punya harapan ingin sekolah kayak mereka yang seumuran dengan kita” jawab Ano.
“Kalian pun harus menyisihkan uang itu ya” pinta Anto.
Mereka berpelukan.
“Iya, Ara juga pengen sekolah Kak Anto” sambil merajuk.
“Iya, kita semua pasti bisa sekolah” jawab Anto tenang.
Mereka menuju sebuah gang yang persis di ujung gang itu, mereka tinggal dekat tempat pembuangan sampah.
Ibunya menggelar dua lembar kardus, meletakan gundukan plastik yang di bungkus kain menjadi bantal bagi mereka.
“Ayo Bi, tidur!” pinta ibunya.
Abi membaringkan tubuh lelahnya di atas kardus itu berbantalkan gundukan plastik tadi, lalu ibunya menyelimutinya dengan sarung lusuh yang jadi alas makan siang tadi sambil berkata, ”Mimpi indah ya nak!”. Persis di depan sebuah toko pinggir jalan Otista itu mereka tertidur melawan dingin angin malam. Suara deru mesin mobil semakin jarang terdengar di jalur itu. Mereka tertidur dengan pulasnya bagai tidur diatas kasur springbed milik orang-orang kaya sana.
“Allaahu akbar, Allaahu akbar...” kumandang Adzan subuh dari Mushola Ustadz Adin.
“Abi, bangun! Sudah Adzan”pinta ibunya.
Abi bangun dengan muka tersenyum.
“Ada apa Bi, kok senyum-senyum?”, tanya ibunya.
“Nanti Abi ceritakan sehabis mengaji ya bu”.
Abi berselendangkan sarung bergegas menuju mushola yang ada di sebuah gang itu, Abi berwudlu lalu memasuki mushola itu. Terlihat Ustadz Adin sudah tertunduk berdo'a sambil menunggu jama'ah untuk shalat berjama'ah.
“Assalaamu'alaikum”Suara kecil itu menelisik telinga Ustadz Adin.
“Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wa barokatuh”, jawab Ustadz Adin. “ehhh Abi ayo Bi, sini!” Ustadz Adin memakaikan sarung di tubuh Abi, karena Abi belum bisa memakai sarung sendiri.
“Terima kasih pak Ustadz”.
Satu persatu jama'ah berdatangan ke mushola. Sementara jam menunjukan pukul lima lebih lima belas menit, waktunya iqomat… Allahuakbar Asyhaduallaa ilaaha illallah...Ustad Adin maju menjadi imam, selesai shalat Abi dan anak warga di sana belajar mengaji kepada Ustadz Adin.
”Robbi Zidni 'Ilman warzukni Fahman”, gemuruh do'a sebelum belajar. Sekitar setengah jam lamanya Abi belajar mengaji. Setelah mengaji Abi pamit pada Ustadz Adin, sambil mencium tangan Abi berucap,
”Assalaamu'alaikum pak Ustadz”,
“Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh”. Abi berlari menuju ibunya yang sudah duluan pulang, Abi tersenyum mendekati ibunya.
”Bu, Abi semalam mimpi, abi memakai baju putih bercelanakan merah berselendangkan tas berjalan menuju sekolah bersama Anto, Andi, dan Ara”, cerita Abi.
Ibunya tersenyum.
“Mimpimu pasti akan terwujud”jawab ibunya.
Matahari semakin meninggi menandakan Abi harus kembali melakukan aktifitasnya sebagai pengamen jalanan.
Mimpi itu masih ada di benak Abi…
Catatan…
Perlu kita tahu bukan hanya Abi yang punya harapan sekolah, bukan hanya pengamen kecil di jalan otista itu yang punya mimpi bisa sekolah, bukan hanya di Bandung, bukan hanya satu dua, bahkan ratusan dan ribuan pengamen yang berharap bisa mengenyam pendidikan itu.
Ini adalah satu sisi dari ribuan sisi yang menyebabkan negeri kita tercinta terbelakang.

wahai Pejabat, mereka itu adalah rakyatmu yang butuh perhatianmu.


0 comments:

Post a Comment